Sabtu, 27 September 2014

KASUS KORUPSI ANAS


Terkait Vonis Anas, KY Nilai Pengadilan Tipikor Belum Konsisten

Kamis, 25 September 2014 | 20:05 WIB
TRIBUNNEWS/DANY PERMANAMantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum (kanan) tiba di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta untuk menjalani sidang vonis Kamis (24/9/2014). Anas diduga terlibat korupsi dalam proyek Hambalang, yang juga melibatkan mantan Menpora Andi Malarangeng.

JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Yudisial menilai Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta belum konsisten dalam memaknai kewenangan penegak hukum. Sejauh ini, masih ada hakim Tipikor yang menilai jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang membawa perkara pencucian uang ke pengadilan.

Contohnya, hakim ad hoc yang mengadili perkara kasus dugaan korupsi dan pencucian uang dengan terdakwa mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Dua hakim Tipikor tersebut, yakni Slamet Subagyo dan Joko Subagyo, menyampaikan pendapat berbeda yang intinya menilai jaksa KPK tidak berwenang menuntut pencucian uang.

"Ada Pengadilan Tipikor yang tidak ada masalah jaksa mengajukan dakwaan TPPU, tapi ada hakim yang menganggap KPK tidak bisa mengadili TPPU. Ini bagaimana ini kan pengadilan di bawah MA berbeda dalam memaknai kewenangan penegak hukum, nah yang seperti inilah inkonsistensi yang menjadi problem tersendiri," kata Ketua KY Suparman Marzuki saat dihubungi wartawan, Kamis (25/9/2014).

Kendati demikian, Suparman menilai tidak ada pelanggaran etik yang dilakukan majelis hakim Tipikor yang menangani perkara Anas. KY memantau proses persidangan Anas sejak awal hingga akhir.

Hasil pemantauan KY selama ini, kata Suparman, menunjukkan bahwa proses persidangan berjalan normal.

Diberitakan sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis penjara delapan tahun ditambah denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan kepada Anas. Hakim juga meminta Anas membayar uang pengganti sekitar Rp 57,5 miliar dan 5,2 juta dollar AS. Putusan majelis hakim Tipikor atas perkara Anas jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa. Sebelumnya, tim jaksa KPK menuntut Anas dihukum 15 tahun penjara. Jaksa juga menuntut Anas untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 94 miliar dan 5,2 juta dollar AS.

Menurut majelis hakim, Anas terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan subsider, yakni Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP. Dia dinyatakan terbukti menerima pemberian hadiah atau janji yang patut diduga jika pemberian itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatan Anas. Hadiah yang diterima Anas di antaranya uang Rp 2,2 miliar dari Adhi Karya, Rp 25,3 miliar dan 36.000 dollar AS dari Grup Permai, serta penerimaan lainnya berupa Toyota Harrier, Vellfire, dan fasilitas berupa survei pencalonan Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dari Lingkaran Survei Indonesia.

Hakim menilai Anas memiliki pengaruh dalam mengatur proyek APBN mengingat jabatannya sebagai Ketua DPP Partai Demokrat bidang politik pada 2005. Pengaruh Anas ini semakin besar setelah dia terpilih sebagai anggota DPR dan ditunjuk sebagai ketua fraksi. Hakim juga menyatakan bahwa Anas terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dalam dakwaan kedua yang memuat Pasal 3 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uangjuncto Pasal 65 ayat 1 KUHP.

Meskipun demikian, majelis hakim Tipikor menolak tuntutan jaksa KPK untuk mencabut hak politik Anas. Menurut hakim, penilaian mengenai layak atau tidaknya seseorang dipilih dalam jabatan publik merupakan kewenangan publik. Putusan Anas ini diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dua hakim ad hoc. Dua hakim tersebut menilai KPK tidak berwenang menuntut pencucian uang sehingga menganggap Anas sedianya dibebaskan dari tuntutan pencucian uang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar