And The Last Time in Madrid
Namaku Ran Junpei. Liburan semester ini aku sangat beruntung, mungkin, di karenakan ayahku memberiku sebuah tiket travel menuju Madrid. Aku sungguh kegirangan ketika beberapa lembar mendarat di tanganku.“Ayah, kau tidak salah memberiku travel ke Madrid,” ujarku kegirangan dengan ketidakpercayaan.
“Iya, memangnya kau tidak suka?!” jawab ayahku datar.
Aku terperanjat, “Aku sungguh menyukainya,” aku meloncat-loncat ngga karuan, terlihat ayahku hanya menggelengkan kepalanya.
“Tapi ayah juga menyuruh Juna untuk ikut denganmu supaya kau tidak sendirian di Madrid sana,”
Tiba-tiba saja ada petir yang menghantam jiwaku, seketika wajahku mendung dan terhenti dari loncatan yang akan membuatku tinggi. Mulutku menganga dengan berjalan pelan ke arah ayahku.
“Ayah, Juna tidak usah ikut denganku, aku akan baik-baik saja di sana,” protesku tidak suka.
Ayahku duduk dengan koran lengkap dengan secangkir kopi. “Memangnya kenapa, Juna itu tunanganmu bukan, jadi ayah ngga salah dia menjagamu?!”
Aku mendesah, lalu duduk di samping ayahku dengan wajah di tekuk. “Ayolah ayah, lebih baik kalian ikut saja denganku daripada kalian menyuruh Juna,” rengekku, dengan memegang lengan ayahku.
“Sayang, memangnya ada apa dengan Juna?” tanya ibuku dari belakang, dan duduk di samping ayahku.
Wajahku semakin di tekuk. “Cerewetnya itu membuatku dongkol setengah mati,”
Ayah dan ibuku langsung melihat ke arahku, lalu serentak tertawa bersama dengan keras. Sedalam mungkin wajahku di tekuk. “Maka dari itu ayah suruh Juna ikut ke Madrid,”
“Ayah!” teriakku.
Malam dengan cepat kembali menyeruak ke permukaan bumi. Di bandar udara hanya beberapa orang yang berlalu-lalang di tempat luas tersebut. Sebelum pemberangkatan aku dan kedua orangtuaku berpelukan ada rasa enggan yang menyelimuti perasaanku untuk meninggalkan Indonesia bersama Juna.
“Sayang, kamu disana baik-baik, ya?!” elus ibuku lembut, aku menarik nafas dan mengangguk pasti. “Juna, tante dan om titip Ran, ya?!” sambung ibuku percaya.
“Tentu saja tante, Ran pasti baik-baik saja denganku,” ucap Juna pasti.
“Ngga sama gue,” gumamku dalam hati.
Tanpa sungkan aku mencium kedua pipi ibu dan ayahku, seerat mungkin aku memeluknya.
Aku dan Junapun membalikkan punggung, untuk melakukan perjalanan ke ibukota Spanyol. Terlihat kedua orangtuaku di belakang melambaikan tangannya masing-masing.
Kesunyian menjalar ke gendang telingaku. Aku berusaha menyamankan posisi dudukku, terlihat beberapa penumpang memainkan gadget miliknya. Termasuk Juna yang sangat asyik dengan jejaring socialnya, secara tiba-tiba ilfeel menyeruak ke otak.
“Juna,” panggilku tanpa melihat wajahnya. “Bukannya lu sibuk,” ujarku basabasi.
Juna langsung menoleh ke arahku dengan meletakkan ponselnya. “Jadi lu keberatan kalo gue sebagai tunanganmu ikut,” tegasnya sewot.
Aku melirik dengan tajam. “Bukannya gitu, tapi gue udah besar buat liburan sendiri,” protesku lalu melipat kedua tanganku di dada.
Juna langsung tertawa kecil. “Gimana orangtua lu ngga nyuruh gue buat jagain lu, lu masih anak-anak gitu,” ejeknya puas. Mulutku menganga dan langsung memalingkan muka ke arah awan yang tepat di sampingku.
Tepat pukul sembilan pagi waktu Madrid, aku dan Juna berdiri di bandar udara Barajas-Madrid, rasa campur aduk kembali menyeruak ke permukaan jiwaku. Mataku melihat sekitar dimana baru pertama kali aku mendarat di ranah Juan Carlos I ini.
“Ran, lu seneng banget,” tutur Juna yang berjalan di sampingku.
Aku langsung melirik ke arah Juna dan tersenyum kecil. “Of course,” singkatku dan kembali mengalihkan pandanganku.
“Ekh, lu boleh seneng tapi jaim dikit napa?!” sewot Juna tidak suka.
Aku terus menyunggingkan bibirku tanpa mempedulikan Juna yang tidak suka akan sikapku yang sangat senang dimana telah aku berdiri di Madrid ini.
Tidak lama dari airport, tibalah aku di dalam sebuah hotel yang megah. Kembali aku berdecak kagum dan melakukan putaran yang sangat takjub akan isi hotel yang aku tempati. Padahal aku dan orangtuaku sering melakukan check in hotel, tapi mungkin suasananya sedikit berbeda jadi aku terlihat baru pertama kali masuk ke dalam hotel.
“Welcome to our hotel, Could I help you?” sapa receiptionist ramah.
“We need a room,”
“Two room.” timpalku.
Juna langsung melotot ke arahku. Aku mengerutkan dahi. “One room, but two bed,”
“Wait a minute I’ll check it first,” ujarnya tersenyum ramah lalu melihat ke arah monitor.
“Juna, lu mo apa, mending dua kamar aja, dan gue bisa bebas dari lu,”
“Lu diem dan ikutin gue,” tegasnya.
Aku berdesis tidak suka dengan menghentakkan kaki ke lantai dasar, dan berjalan pelan menjauh dari Juna yang terlihat akrab dengan receiptionist hotel.
“Aaaaarrgghhhh… Enaknya,” teriakku dengan melemparkan badanku ke atas tempat tidur yang membuatku terpental kembali.
Aku menatap langit-langit kamar dengan perasaan yang sungguh senang, terulang lagi kata-kata, “akhirnya aku bisa mendarat di Madrid ini.”
Terlihat Juna langsung merapikan barang-barang yang di bawanya, sesekali matanya melihat ke arahku. “Ran, lu tuh kelihatan kampungan banget tau,” ejeknya puas.
“Terus masalah gitu buat lu,” timpalku ngga mau kalah. Aku langsung terbangun dan menatap tajam ke arah Juna. “Juna, lu yakin mau seruangan ama gue,”
“Tenang aja, ini yang gue mau,” aku mengerutkan dahi. “Lu ketakutan banget sih, gue masih sadar buat macem-macem terhadap lu, lagian ngurusin lu aja udah ribet,”
Aku langsung berdiri dan berjalan kesal ke arah Juna. “Maksud lu apa, ngurusin gue?”
Juna tersenyum lebar, lalu menurunkan bahuku untuk duduk di atas tempat tidurnya.
“Juna, kalo lu ngerasa kebaratan kenapa lu ikut?” tanyaku sewot.
Juna langsung jongkok di depanku dengan menatap tajam ke arahku. “Meskipun gue suka, sayang ama lu, tapi pikiran gue masih bersih buat ngelakuin hal yang bikin lu lebih ilfeel ke gue,” jelasnya lembut.
Aku diam mengerti. Lalu mendesah tak peduli. “Aku mau keluar dulu, ya?!” aku beranjak, tapi Juna kembali mendudukanku.
“Tunggu aku sebentar, kita makan terlebih dahulu lalu jalan,” tuturnya tajam ke arahku, dan kembali merapikan barang-barangnya. Aku menghela nafas, dan memperhatikan Juna yang lama-lama wajahnya tidak menyebalkan sama sekali. “Lu ngga usah melototin gue kaya gitu, ntar lu demen pula,” celanya.
“Ekh, kenapa lu suka gue, perasaan tampang lu cakep, kenapa ngga lu cari cewek seksi dan cantik di luar sana,”
Juna melirik ke arahku dan menggelengkan kepalanya dengan senyuman kecilnya. “Terus sekarang lu sadar bahwa lu ngga cantik ataupun seksi,” saat itu juga aku mengangkat bibirku dan merasa pusing dengan melihat Juna yang bolak-balik menuju lemari bajunya. “Gue suka lu bukan gara-gara tampang lu, tapi hati dan mata lu,”
“Oh, gombalan lu ngena banget,” ucapku jutek.
Dengan sekuat tenaga Juna menjepit hidungku, aku berusaha melepaskannya gara-gara kesakitan yang ku alami. “Lu tuh ya,”
Aku meringis kesakitan dengan memegangi hidung dan menatap tajam ke arah Juna yang cengengesan puas.
“Juna, cepet!” teriakku kesal, dan berdiri untuk meninggalkannya.
“Ekh, lu tunggu di lobi aja,” pintanya yang masih sibuk. Aku tersenyum licik, tapi Juna membalasnya, lalu aku mengerutkan dahiku, “Apakah Juna membaca pikiranku untuk kabur darinya pagi ini?” gumamku menganyunkan kakiku dengan pelan.
Setibanya di lobi, aku kembali duduk di atas kursi yang cukup persis di rumah milik ibuku. Lalu aku keluarkan ponsel andoridku, dan sasaranku adalah seperti biasanya game yang selalu menemaniku di setiap kejenuhan yang mendera otakku. Apalagi posisinya sekarang aku harus menunggu seorang pria.
Beberapa menit kemudian, Juna tak kunjung datang untuk mengajakku jalan ataupun makan, padahal perutku sudah memanggil, tapi aku tidak mempedulikannya karena game begitu seru untuk aku mainkan.
“Hallo,” terdengar seseorang di sampingku menyapaku, tapi aku begitu fokus terhadap permainan warriorku. “Hallo,” sapanya kembali, dengan kesal aku langsung menoleh, tapi tiba-tiba mulutku begitu kelu untuk mengeluarkan kemarahan dari hatiku.
“Eat it,” sodornya sebuah makanan.
Aku tidak bisa apa-apa, mungkinkah penyihir putih telah membekukanku dengan kekuatan esnya.
“Please take it,”
Aku masih terperangah tak percaya. Hingga akhirnya aku mendapatkan kibasan dari tangan yang sungguh besar di hadapanku, lalu aku tersadar dan tersipu malu.
“Sorry,” Aku tersenyum kecil lalu menganggukan kepala.
“Are you really hungry, so please take it?!” sodornya sebungkus roti.
“Oh, no,” dengan perasaan malu aku mengibaskan kedua tanganku.
“Don’t you hear your stomach is calling for food filled, so take it, I didn’t poison it at all,” jelasnya maksa.
Dengan terpaksa dan malu aku langsung meraih bungkusan yang berisi roti.
“Thanks,” anggukku sungkan. “I’m not dreaming, right?!” gumamku dalam hati.
“Sorry, are you Cristiano Ronaldo?” tanyaku sungguh-sungguh sungkan.
Pria kekar di sampingku langsung menoleh ke arahku dan tersenyum kecil, dan ya ampun terlihat manis sekali. “You don’t know my face, until you have ask,”
“Aaaarrgghhh ……” Dengan spontan aku berteriak dengan meloncat-loncat seperti orang gila. Hampir semua orang yang di ruang tunggu tersebut langsung melihatku tajam. Tanpa kuduga Ronaldo langsung memegang lenganku dan menenangkanku.
“Are you ok?” tanyanya cemas, sedangkan aku tidak mempedulikan orang-orang yang memperhatikanku, aku masih berisik dengan bahasa tubuhku bagaikan cacing yang terpanggan matahari. “Please be calm,” pintanya dengan suara kecil yang membuatku semakin ngga jelas.
“What I’m dreaming?” tanyaku dengan memegangi kedua pipiku yang tiada hentinya dari tenggorokan mengeluarkan teriakan. Ronaldo begitu kebingungan.
“Ronaldo, I’m so glad to see you here, and it looks like I’m dreaming, although it still my favourite club Manchester United, but my love for you wouldn’t fade at all,” jelasku panjang lebar yang membuatnya semakin bingung.
“Could you slowly in english, because my english is still bad,” bisiknya tersenyum ke setiap sudut yang memperhatikan sikapku, hingga akhirnya aku tersadar lalu celingukan kanan-kiri, benar saja semua orang memperhatikanku yang sangat histeris.
“Sorry, sorry,” ujarku tersipu malu, lalu ku anggukan kepalaku terhadap Ronaldo yang terus tersenyum. “Sorry, make you shy,” aku menundukkan kepala lalu memasukkan roti yang telah ada di genggamanku.
“Its okey,” lagi-lagi bibirnya tersenyum ke arahku. “Oh ya, what’s your name?” aku langsung terperangah ketika seorang Ronaldo menanyakan nama ke seorang gadis yang begitu ribut sepertiku.
“Ran Junpei,” tanpa sungkan aku mengulurkan tanganku.
Dengan cepat Ronaldo langsung menjabat tanganku. “Nice to meet you,”
“Nice to meet you too,” balasku cepat.
“Where do you comefrom?”
Tiba-tiba tanganku beku ketika Ronaldo melepaskan jabatannya. “Indonesian,” jawabku singkat. “Ronaldo, you are so different,”
“Different?” kembali Ronaldo mengerutkan dahinya. “In what way?”
“On the field you seem arrogant, but in front of my eyes you’re actually really friendly and nice,” jelasku sumringah. Ronaldo tertawa dengan memperlihatkan barisan giginya yang putih. “Serious?”
“Yes.” tegasku tertawa girang.
“Ran,” panggil Juna di belakang punggungku, saat itu juga seorang perempuan tinggi semampai dengan kulit coklatnnya menghampiri Ronaldo dengan mengulurkan tangannya.
“Come on, honey!” ajaknya mesra.
Aku terbelalak, “Apakah dia Irina Shayk sainganku?” tanyaku dalam hati. Wajahku langsung berubah drastis dengan di tekuk.
“Okey Ran, see you next time!” pamitnya.
Aku tidak bisa menyembunyikan kesedihanku hingga akhirnya aku berlari menghampiri satu pasangan yang menurutku tidak serasi karena aku berharap aku yang di posisi Irina.
“Wait for a moment!” teriakku, dan membuat Ronaldo membalikkan punggung.
Sontak Irina dan Ronaldo kebingungan atas ulahku. “Sorry sister, could I help you?” tanya Irina tersenyum, dan hatiku leleh, dan ada rasa ikhlas serta menilai Irina cocok dan wanita baik untuk Ronaldo.
“Would you like help me to take my picture with your boyfriend?” pintaku dengan wajah memelas dan memegangi ponselku.
Ronaldo dan Irina tersenyum lebar. “Of course,” jawab Irina singkat, lalu menengadahkan tangannya dan meminta ponsel kameraku.
Aku langsung sumringah kembali dan menyerahkan ponselku ke arah Irina yang telah siap membantuku. Lalu tanpa sungkan aku langsung bersampingan dengan Ronaldo. Aku tersenyum lebar ketika Ronaldo merangkul bahuku dengan akrab dan hangat.
“One, two,” Irina beraba-aba, dan terasa kilatan cahaya menerpa wajahku.
“Once again, please,” pintaku kembali. Lalu aku dan Ronaldo berpose kembali.
Setelah Irina berhasil mengambil gambarku yang kedua. Irina langsung menyerahkan ponselku, tapi denga agresif aku menarik tangannya dan sejajar denganku. “Juna, fotoin!” teriakku dengan menyerahkan ponselku ke arah Juna.
“Thanks a lot, guys!” ujarku akrab, serta lambaian tangan menyertai kepergian sepasang kekasih yang berbeda profesi tersebut…
“Junaaaa…” teriakku yang sungguh kegirangan dengan hariku bertemu Ronaldo idolaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar