I’m Perfect But Not Anymore
Keesokan harinya. Hari ini aku berangkat sekolah on time. Jam 06.45 udah nyampai kelas. Sambil menenteng tas kulit selempang yang mirip punyaku, aku menuju kelas XII IPA 7 yang letaknya lumayan jauh, di gedung sebelah.Setibanya di depan kelas. Aku intip kelas dan ada dia, Agista. “Haduh, gue bilang gimana ini? Minta maaf apa ya?” pikirku
Ternyata banyak juga yang sudah berangkat. Aku kenal dengan mereka, tapi kenapa satu cewek ini gak tau. Aku memanggil Keni untuk memanggilkan Agista, karena aku malu memanggil dia secara langsung. Sebentar kemudian seorang cewek tingginya 160, agak kurus, chinesse, dia menghampiriku. Matanya yang biru bertatapan denganku. “maaf ya, loe siapa?” tannyanya berwajah innocent. “ha? di sini siapa sih yang gak kenal gue?” pikirku “Gue.. gue Riyo. Loe gak tau kalo gue Riyo?” tanyaku sambil mencoba tersenyum menutupi keherananku. “Oh, loe Riyo, ada urusan apa loe kemari?” jawabnya agak kurang nyaman melihat tatapan tidak suka dari teman-teman cewek di dalam kelas. “Gini, apa loe Agista?” “iya, gue Agista.” “emm, sebelumnya gue minta maaf sama loe soalnya kemarin gue salah bawa tas. Tas loe ketuker sama punya gue. Ini tas loe.” kataku agak pelan sambil menyodorkan tasnya. “Ha? Ternyata gak hilang. Aku kira hilang.” dia menyambut dengan gembira. “sini tasku.” dia mengambil tasnya dan dia berkata, “tunggu sebentar ya. Kemarin gue juga sempat terkejut ada tas yang sama kaya’ punya gue, ternyata punya loe. Sebentar gue ambilin.” sebentar kemudian dia membawa dan memberikan tasku. Kali ini wajahnya tidak curiga. Wajahnya berubah ceria. “Makasih Agista.” ucapku sambil tersenyum. dia berbalik selangkah meninggalkanku. Entah kenapa hatiku tidak rela kalau ini akhir pertemuanku. Lalu “Sebentar Agista.” Dia menengok ke arahku diiringi rambutnya yang hitam panjang terurai terbang tertiup angin. Hatiku berkata wow. “hmm, ya, ada apa?” “Boleh minta nomor hpmu?” dalam benakku bertanya kenapa aku berani berkata begitu. “Buat apa?” tanyanya bingung “Hmm.. buat tanya dikit. Soalnya kemarin gue gak bisa ngerjain ulangan mandarin. Kali aja gue bisa belajar sama loe.” “boleh. Ini.” “Ok. Udah gue save. Thanks ya.”
Semenjak pertemuan itu aku ngerasa ada yang aneh dalam diriku. Aku selalu terbayang wajah Agista. Keceriaannya. Saat ku tutup mata, aku jadi ingat mimpi waktu itu. Dia yang ada di mimpi mirip Agista. Terlanjur penasaran membuatku ingin tahu lebih dalam tentang dirinya. Aku mulai sms dia, aku juga meng-add fbnya. Sesudah diconfirm, aku lihat status hubunganya. Betapa senang hatiku. Dia belum ada yang punya alias single.
Selang waktu berlalu, aku mulai sms’an, telfon-telfonan, dan aku mulai yakin dia merespon aku. Kadang aku menghampirinya di depan kelas. Kami mengobrol panjang lebar. Lalu aku beranikan membawanya ke rumahku. Dan dia sangat ramah pada seisi rumah. Bahkan dia dekat dengan nyokap.
Malam ini aku ingin memberi kejutan padanya. Aku bersiap diri berdandan. Kupakai baju kemeja warna putih dengan jas hitam, kupadukan dengan jeans panjangku. Rambutku spike. Kali ini aku gak bawa mobilku yang fortuner, tapi aku memilih memakai mobil jazz putih yang gak pernah aku pakai. Ku tahu Agista suka warna putih. Hari ini pesta ulang tahunnya yang ke 18. Ku sudah menyiapkan sebuah kado yang memang sederhana seperti dirinya. Sepaket mawar putih untuknya. Selama aku kenal dia dan jalan bareng dia, aku tahu dia bukan cewek matre. Dia gak pernah minta macam-macam. Bahkan dia selalu pengen bayar apapun sendiri. “Riyo.” panggil nyokap dari ruang tamu. “iya Ma.” “Mau ke rumah Agista ya. Ini mama udah bungkus kado buat dia. Tolong sampaikan salam ke dia dan maaf mama gak bisa datang ke ulang tahunnya. Mama ada acara bakti sosial di Nusa Tenggara Timur. Malam ini mama berangkat.” “iya ma. Tapi ini apa?” “itu kalung emas yang mama beli kemarin waktu berlibur ke India. Kalung itu mama kira pas sama mama, ternyata gak pas.” “apa gak terlalu berlebihan ma?” tanyaku “gak Yo, daripada gak dipakai. Sana cepat berangkat.”
Di rumah Agista. Aku tidak menyangka rumahnya begitu besar. Mungkin lebih besar dari rumahku. Dan baru kutahu dia anak seorang dokter bedah ternama di Jakarta. Kumasuki ruangan yang didekor penuh warna putih. Rumahnya besar, namun Agista selalu tampak sederhana. Dia memakai sepeda motor matic ke sekolah, padahal di garasi rumahnya terlihat mobil jaguar terbaru.
Acara semakin malam, akhirnya sampai pada upacara potong kue. Tanpa terduga, Agista memberikan potongan kue pertamanya kepadaku. Saat itu juga aku memberikan rangkaian bunga mawar putih kepadanya sekaligus kado dari nyokap. Dia buka kado itu. Aku membungkuk ke arahnya dan mengalungkan kalung emas bertahtakan berlian itu. “makasih Riyo.” Aku mengikrarkan ingin memiliki dirinya di depan semua orang yang hadir di sana. Dan Agista pun menerima. Kami pun jadian. Cebong, Jeng-jeng, dan plethok pun memberi tepuk tangan paling keras di antara mereka. “Hebat loe bro.” sahut Plethok. Pada penutupan acara, Agista menyanyikan lagu Shania Twain berjudul From This Moment.. Suaranya lembut menggema ke seisi ruang. Tak kusangka suaranya begitu indah. Aku menjadi tamu istimewa di sini.
Kami jalani semuanya bersama. Berjalan berdua. Belajar bersama. Dia juga menjadi penyemangatku saat bermain sepak bola. Hobi baru kami pun dimulai. Aku menyewa fotografer untuk mengabadikan moment bersama. Kami memakai pakaian senada, dan banyak dari fotoku ku upload ke fb. Terakhir kali aku log in ke fb, notificationnya “1099 people like this photo.” Mimpi buruk entah apa. Akhirnya UAN pun tiba. Aku takut berpisah dengan Agista.
26 Mei Hari kelulusan tiba. Aku, Cebong, Jeng-jeng, plethok bersama semua teman yang lain berkumpul di lapangan depan untuk menerima sebuah pengakuan yang akan mengubah hidup kami. Kemudian, Pak Nanang, kepala sekolahku mengukuhkan “LULUS 100 Persen” kami semua bersorak. Aku dan teman-teman bersorak puas. Kami saling menandatangani baju dan mewarnai baju dengan pilok. What a wonderful day!! i’m free like a bird.. huahhh. Jadi ingat masa kecilku sewaktu mengikuti diwalli di India bersama keluarga bokap di sana.
Kemudian.. kebahagiaan itu hanya sesaat. Saat kulihat Agista mulai menitikan air mata sedih. Aku menghampiri dia dan membawanya ke kantin sekolah. “Loe kenapa Agis? Kok nangis sih.” tanyaku sambil mengusap air matanya dengan tissue. “Ri, gue sebenernya pengen ngomong ini dari dulu.” dia mencoba berbicara lagi, “Sebenernya gue mau nerusin di Australia. Di sana gue disuruh jadi penerus bokap, jadi dokter bedah. sempat kaget dengan keputusannya. Petir serasa menyambar kepalaku. Aku kaget setengah mati. Apa aku bermimpi? Namun kucoba menenangkan diri. “Iya gak papa Agis. Mau kuliah dimanapun, asal Agis berniat menuntut ilmu, pasti cita-cita Agis bisa tercapai. Gak usah nangis ya.” “Tapi gue gak mau pisah sama loe.” air matanya mulai menetes lagi. “Walaupun kita gak bareng, tapi hati kita tetap dekat. Jangan lupain gue ya. Kita tetap jaga segalanya seperti sekarang saat kita masih bareng” aku mengelap pipinya yang basah dengan tanganku dan membelai rambutnya perlahan.
Aku memutuskan kuliah di Universitas Indonesia. Karena ayahku adalah dosen Teknik di sana. Aku meneruskan S1 di sini, lalu rencananya melanjutkan S2 di India. Karena mungkin keluargaku akan kembali tinggal di tanah kelahiran ayahku. Sempat terbesit keinginan membawa Agista. Namun gak mungkin hal ini terjadi. Keadaannya sulit. Kami memutuskan tetap berpacaran walaupun long distance.
Aku diterima di UI, aku mengambil teknik kimia. Di Asrama UI. Aku mulai kesepian tanpa dia, Agista. Kami masih sms’n, telepon telponan, fesbukan, twitteran tapi tetap saja hadirnya tak seperti dahulu.
2 bulan berlalu, aku mulai lost contact dengannya. Aku mulai putus asa. Kemudian keesokan harinya di kelas, seusai kuliah, seseorang menghampiriku. “hay, benar ini Riyo?” tanya seorang cewek yang lumayan tinggi dan cantik, seperti pramugari. Dia duduk di sampingku. “iya benar. Siapa ya?” tanyaku. “Gue Lizi. Gue udah semester 5 di sini. Loe anak baru ya?” “Iya.” ternyata dia senior.
Lama kelamaan, Lizi sering smsan denganku. Dia ramah, baik dan supel. Dia berkata kalau dia mengagumiku. Untuk menghilangkan kesepian ini, aku mencoba mengisi hariku dengan cewek lain. Tapi hatiku, tetap satu, Agista di seberang sana.
Aku putuskan mengutarakan cinta padanya. Aku menjelaskan kalau aku long distance sama pacarku, dan apakah Lizi mau menerimaku? Dan ternyata dia menerimaku. Seminggu kemudian sms yang aku nantikan datang. Sms dari Agista. Dia memberi kabar besok Senin akan kembali ke Jakarta selama 2 minggu karena ada libur panjang di Australia. Aku sangat senang mendengar kabarnya. Kuputuskan untuk menemuinya di Restoran Cina milik tanteku, Tante Reni. “Rabu jam 7 malam di Restoran Cina Ming Zhu. Datang on time ya Agista.” smsku melayang ke hpnya. “OK. Pasti aku datang.” balasnya. Aku berdebar-debar menantikan besok Rabu.
Rabu sore. Aku membelikan sebuah kado boneka panda untuknya. Boneka ini lucu dan gendut. Pasti Agista suka. Rabu jam 7.34 aku baru tiba di Restoran karena mobilku mogok di jalan, membuatku berjalan cukup jauh ke sini. Kutenteng boneka panda itu dan kulihat Agista duduk di samping jendela melambaikan tangannya. Aku berjalan cepat menuju ke tempat duduknya. Tapi tiba-tiba dadaku sesak, kakiku seakan lumpuh, berat untuk melangkah. Ku lihat Lizi duduk di depan Agista. Ingin kuputar arah, tapi sudah tidak bisa. Kemudian aku duduk di antara mereka. “Ternyata loe masih sama ya Ri.” ucap Agista. “Hmm, iya.. masih ganteng kan?” jawabku penuh ragu. Aku mulai bisa membaca situasi ini. Mencekam. “Iya sih.” jawab Agista. Kulirik Lizi di sampingku. Dia sibuk sms ria tidak mengeluarkan sepatah kata pun. “Agis gimana kabar?” tanyaku berusaha tenang. “Baik. Tapi gak baik lagi setelah tahu kenyataannya.” jawabnya “Kenyataan apa?” sepertinya akan ada hal buruk terjadi padaku. “Tidak usah aku jelaskan panjang lebar. Aku kira kamu bakal tepati janji kamu buat setia. Tapi ternyata.. Kamu bohongi aku. Kukira kamu gak akan tergoda sama Lizi. Dugaanku salah. Lizi tuh sahabat gue dari kecil yang gue suruh pura-pura suka sama kamu. Gue kecewa sama loe Ri.” ucapnya penuh nada kecewa, matanya kosong tidak ada sorot mata ceria seperti biasanya, “Mulai saat ini, jangan pernah hubungi aku lagi. Loe Gue End sampai di sini.” “Yo, loe tau kan sekarang yang loe dapetin? Jadi cowok play boy tuh resiko. Kita juga putus” tambah Lizi. Agista dan Lizi meninggalkanku. Mereka meninggalkanku sendiri. Aku sakit. Ini memang salahku.
Aku segera pergi ke toilet dan aku hanya bisa menangis. Aku memang cowok rapuh. Aku mengingat setiap detik yang kulalui bersama Agista. Ku sadari, aku telah menyakitinya, menyia-nyiakan hadirnya. Kini ku tahu rasa ini. Forgive me, Agista. Mungkin terlambat, namun aku hanya bisa berkata dalam hati, “Agista gue sayang sama loe. Gue sadar loe yang terbaik yang pernah gue miliki. Memang salah gue nyakitin loe. Please Forgive me.” Setelah peristiwa itu, hatiku remuk. Aku tidak tahu bagaimana lagi yang harus kulakukan. Aku putuskan mencari wanita sebanyak-banyaknya. Aku berharap akan menemukan seseorang seperti Agista. Ku tak tahu kapan pencarianku berakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar