Love Isn’t False
Cuaca hari ini benar-benar nggak kompak. Matahari tidak lagi memancarkan sinarnya yang dahsyat. Sesekali terdengar suara gemuruh kilat menyambar. Sekarang sudah pukul 04.00. Bel sekolah SMA Xaverius sudah berbunyi. Murid-murid terlihat sedang menunggu jemputan masing-masing. Di sudut lain seorang cewek dari tadi berdiri di depan kelasnya bukan lantaran menunggu jemputan seperti teman-temannya, tapi menunggu berhentinya hujan.Ia menghela napas panjang dan bergumam “Kan lupa bawa payung.” Setelah satu jam menunggu hujan belum juga bisa diajak kompromi. Dan sekarang sekolah itu benar-benar sepi.
Terdengar suara langkah berat seseorang yang sedang mendekat ke arah cewek itu. Pikirannya mulai melayang ke hal-hal berbau horor. Namun berkali-kali ia menyakinkan dirinya kalau itu hanya langkah satpam sekolah. Langkah itu semakin mendekat. Seorang cowok sekarang berdiri di depannya. Cewek itu kaget setengah mati.
Mata cowok itu menatapnya lurus “Mau bareng?” Kata cowok itu sambil memberikan payung yang ada di genggamannya.
Cewek itu masih terdiam sambil menatap cowok itu bingung. Namun akhirnya ia mengangguk kecil. Sejujurnya ia tidak mengenal cowok itu. Tapi ia harus pulang sekarang daripada di sekolah itu sendirian. Lagipula setelah ia perhatikan wajah cowok itu lekat-lekat, tidak ada garis yang memperlihatkan kalau cowok itu adalah orang jahat atau pembunuh. Binar matanya menunjukan kalau ia benar-benar tulus.
Cowok itu kemudian berjalan di depan cewek itu. Cewek itu buru-buru menyamakan langkahnya dan memayungi cowok di sebelahnya. Dengan refleks tangan cowok itu bergerak ikut memegang gagang payung.. Tangan mereka pun bersentuhan dan pada saat yang sama mata mereka saling bertemu.
Hening…
Tidak ada yang berkata-kata.
Mereka merasakan sesuatu yang mendesir menyentuh hati keduanya.
“Sini biar gue aja yang megang payungnya.” Ucap cowok itu memecah keheningan di antaranya. Mereka kemudian jalan berdua dengan satu payung di tengah derasnya titik hujan.
Perjalanan itu hanya berisi kesunyiaan, namun sebenarnya terlalu banyak suara gemuruh di hati merka.
Tak ada satu kata pun yang keluar dari bibir mereka. Rasanya memang sangat sulit merangkai kata-kata yang bergemuruh di hati.
Agnes hanya mampu memperhatikan cowok itu dalam diamnya. Kedua matanya kini fokus ke cowok itu sambil sesekali memperhatikan jalan. Wajahnya yang oval berpadu dengan kulitnya yang putih membuat cowok itu tidak bisa dibilang standar. Alisnya hitam sewarna dengan rambutnya yang tertata rapi. Kedua matanya sipit berbalut dengan kacamata. Semua menampakan aura dingin dan kuat.
Astaga
Semakin menatapnya, semakin bergetar hatinya. Saat ini perasaannya benar-benar tidak keruan.
Mereka berhenti di persimpangan jalan. Firasat cewek itu mengatakan kalau cowok itu mau mengambil arah yang berbeda.
“Kita beda arah. Lo pake aja payungnya.” Kata cowok itu kemudian berlari ke arah kanan membiarkan derasnya air hujan mengguyur tubuhnya.
Tepat beberapa detik kemudian bayangan cowok itu benar-benar menghilang. Ini adalah awal pertemuan manisnya dengan cowok itu. Ya cowok yang membuat gejolak hatinya beradu hebat. Mungkinkah ini cinta pandangan pertama?
Agnes sudah rapi mengenakan seragam putih abu-abunya. Di punggungnya terselampir tas sekolahnya yang telah kenyang menelan buku. Plus telapak kakinya kini sudah dibalut dengan jaos kaki dan sepatu kets kesayangannya.
Ia berhenti di depan gerbang sekolah. Matanya dengan lincah mencari sosok cowok yang sejak kemarin memenuhi lamunannya.
Bodoh.
Runtuknya berkali-kali pada dirinya. Ia benar-benar lupa menanyakan siapa nama cowok itu. Kelas berapa cowok itu dan sekarang semua itu membuatnya bingung sendiri.
“Lo yakin dia anak sekolah sini?” Tanya seorang cewek yang saat ini berdiri di sampingnya.
“Yakin lah. Orang gue kemarin ketemu dai disini.”
“Buktinya dari tadi kita gak ketemu-ketemu sama dia. Kita udah nunggu disni hampir satu jam. Sekarang sudah mau bel. Lo masih mau nunggu disini? Ini hari pertama kita di kelas 11. Lo mau dihukum gara-gara dikira terlambat?”
“Ya udah deh kita masuk.”
—
“Nes, jadi gimana?” Tanya lia melihat temannya yang dari tadi senyum-senyum sendiri. Namun Agnes masih tak kunjung menjawab.
“Nes, gimana?” ulangnya lagi sedikit keras. Satu hentakan kaki lia membuat agnes pun terkejut.
“Ya gitulah.” kata-kata itulah yang menggantung di mulutnya. Namun dari dalam hatinya terlalu banyak kata indah yang ada disana jauh di dalamnya.
“Lo percaya cinta pandangan pertama?” Tanya agnes tiba-tiba. Entah hal apa yang membuat otaknya mendorong mulutnya untuk berkata hal seperti itu kepada sahabat yang telah lama ia kenal.
“Gak. Buat gue cinta itu muncul karena kebersamaan.”
“Tapi lo percaya takdir kan? Bahwa suatu saat di waktu yang tak terduga lo akan menemukan seseorang untuk mengisi hati lo.”
Lia punya banyak kata gak dan alasan yang relevan untuk mendebat semua hipotesis agnes, tapi mungkin dia hanya bisa diam melihat temannya yang tiba-tiba aneh.
“lo lagi jatuh cinta ya? jangan bilang sama orang gak jelas yang minjemin lo payung itu?”
“Mungkin. Klise emang, tapi… gue sendiri masih belum ngerti.”
“Maksud lo?” Tanya lia yang sama sekali gak ngerti dengan ucapan agnes barusan.
“Eh, gimana kelas baru lo? orangnya asyik-asik? Gue tadi sempet liat lo ngobrol berdua sama cewek temen baru lo. Siapa namanya?” Tanyaku bermaksud mengalihkan pertanyaan sekaligus jawaban yang aku sendiri juga gak mengerti.
“Kumat deh. kalau udah gini bisanya nyari topik lain terus buat orang penasaran. Oh cewek tadi. Namanya Nayla. ya baik sih orangnya supel gak sombong. kapan-kapan deh gue kenalin ke lo.”
—
Nayla
Nama itu dan orang itu membuatku penasaran. Dan janji Lia membawaku mengenalnya telah ia penuhi. Semenjak hari itu kita bertiga bersahabat. Sangat dekat. Senja sangat istimewa bagi kami bertiga. Persahabatan dan tawa kami selalu bisa mengubah warna senja kami menjadi cerah. Namun semuanya tak lagi sama. Setelah satu cinta masuk ke dalam dua hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar